Halaman

Kamis, 04 Februari 2010

Sinar Pragmatis dan Laser ngeh


Saya sangat serius bahwa saya berani bertaruh soal yang akan saya sebutkan berikut ini. Tapi untuk bertaruh, kita mesti minta izin dulu kepada yang berwenang, sebab bertaruh itu termasuk perjudian, dan caranya hanya satu: yang berwenang harus mengizinkan dulu.

Saya berani bertaruh bahwa humor orisinal dari kehidupan kongkrit sehari-hari adalah bahasa atau ungkapan budaya yang paling canggih dalam menggambarkan inti realitas zaman.
Kalau tulisan atau buku-buku ilmiah, harus berputar-putar dulu kalau hendak membawa kita ke realitas. Musti melalui jalan metodologi dan terminologi yang ruwet, yang hanya bisa dijangkau oleh hanya sebagaian orang yang punya biaya untuk bersekolah.
Tidak sedikit jumlah ilmuwan atau akademisi yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjelaskan sesuatu. Hasilnya adalah: yang mendengarkan semakin tidak paham, sementara si ilmuwan sendiri mendadak menjumpai dirinya setelah berdiri jauh dari tempat kebenaran dan kenyataan yang coba ia terangkan.
Kalau kesenian, puisi atau teater umpamanya, meminta ongkos kecanggihan akal budi dan cita rasa, baru kita diantarkannya ke pusat keadaan yang dimaksudkannya. Jadi, ilmu di kampus-kampus dan kesenian di panggung-panggung itu mewah dan mahal tapi tidak efektif.
Sementara sepotong cerita humor langsung saja membenturkan kita ke inti kenyataan. Humor adalah sinar laser yang amat tajam, yang mengirimkan kita secara sangat pragmatis untuk ngeh terhadap sesuatu hal.
Silahkan pilih contoh-contohnya.
Humor bijak rakyat Ethiopia yang kondang, yang sering saya kutip, misalnya: "Kalau Sang Raja lewat, bungkukkan badanmu serendah-rendahnya, kemudian kentutlah sekeras-kerasnya! "
Tidak diragukan lagi maknanya, kan? Tapi sebentar dulu: supaya tidak melanggar kesopanan, kata 'kentut' itu bagaimana kalau kita ganti 'kentup' saja.
Ilmuwan memerlukan beribu-ribu kata yang kering-kering dan serakan buku-buku di sekitar mesin ketiknya, untuk menjelaskan kandungan artinya. Dan penyair perlu topo kungkum di sungai sehari semalam agar memperoleh ilham untuk mampu menggambarkan keadaan itu secara literer.
Teaterawan mungkin lebih gampang: lansung saja pentasakan adegan itu. Cukup satu pemeran Raja, tiga pengawal, dan lima rakyat. Tanpa kata, tanpa dialog verbal, cukup bunyi kentut saja pada klimaksnya. Biar saja running time drama itu hanya dua menit.
Kalau ada penonton yang protes karena bayar mahal-mahal hanya disuguhi pertunjukkan drama sesaat, katakan bahwa yang sesaat itu jauh lebih bermakna dibanding lakon-lakon berkepanjangan yang penuh dialog bertele-tele, sok heroik, bergaya seperti Nabi Musa, logatnya direndra-rendrakan, padahal ujungnya ketidakmengertian besar.
Atau Nasrudin Hoja yang mengantarkan seorang konglomerat berburu ke hutan. Terpeleset beliau di telaga yang dalam, padahal tidak bisa berenang. Para pengawalnya setengah mati menolong dengan mengeluarkan tangan dan berteriak: "Tuan! Cepat kasih tangan Tuan! Cepat!"--namun sang beliau tidak bersedia menjelurkan tangannya meskipun sudah lima liter air sudah masuk ke tenggorokannya.
Nasrudin yang ahli psikologi, sosiologi dan antropologi sekaligus, segera ambil peranan. Ia ulurkan tangan dan berkata kalem: "Tuan, cepat ambil tangan saya! Ayo, Tuan, ambil!"
Kalau sebagai mahasiswa kita harus bikin paper tentang itu, kita harus cari buku-buku loakan tentang menalitas kapitalisme klasik. Tentang akulturasi dan ekonomisme yang membuat manusia tidak sadar menomorduakan nyawa dan kehidupannya sendiri demi suatu etos profit. Atau setidaknya tentang psikologi kelas-kelas manusia.
Adapun penyair, akan mengalami kesulitan untuk menemukan kosa kata. Dan kalau ia mencoba mempuisikan adegan itu, biasanya akan menjadi bernuansa tragika melankolik dan dilebih-lebihkan, serta tak menemukan humornya. Padahal humor adalah salah satu metoda untuk mengeliminir tradika.
Apalagi konglomerat yang satu itu, beliau berperahu-perahu ria di hari week end di lepas pantai pulau seribu. Terjatuh beliau ke laut, megap-megap. Istri beliau segera berteriak memanggil nelayan yang kebetulan sedang mencari ikan tak jauh dari tempat jatuhnya beliau.
Si nelayan bilang: "Soal nolong itu gampang, Bu! Tapi mosok hanya nolong? Kecut, dong!"
"Oke, oke! Mau berapa?"
"Sepuluh ribu rupiah!"
"Oke-oke! Tapi cepat tolong suami saya!"
Tiba-tiba sebelum si nelayan terjun untuk menolong, sang konglomerat sambil heap-heap berteriak kepada istrinya: "Maaa! Ditawar dong, Ma! Seribu limaratus saja....!"
Atau mari kita stel kembali rekaman humor yang paling klasik dan populer dari Madura. Terjadi dijaman penjajahan Belanda. Yakni tentang seorang penonton layar tancap yang kesakitan karena kakinya terinjak sepatu orang yang berdiri di sebalahnya.
Anda sudah tahu bagaimana adegan-nya. Si terinjak malah minta maaf dan berkata amat sopan kepada si penginjak: "Maaf, Pak..."
"Ada apa?" Si penginjak ganti tanya.
"Ini maaf lho, pak...?"
"Iya, iya, ada apa?"
"Bapak 'dak marah?"
"Lho, gimana, sih?"
"Bener 'dak marah kalau saya tanya?"
"Iya, iya, ada apa!" Si pengijak mulai hilang kesabaran.
Dengan terbata-bata dan wajah pucat di terinjak memberanikan diri dan bertanya: "Apa Bapak ini morsase?"
"Bukan, bukan!" Jawab si penginjak.
"Anak morsase?"
"Bukan."
"Punya keluarga morsase atau serdadu lain? Famili, keponakan, besan, tetangga, atau pokoknya ada kenalan serdadu?"
"Tidak! Ah, saudara ini aneh-aneh saja..."
Belum selesai si pengijak dengan kalimatnya, mendadak si terinjak meledakkan suaranya: "Kalau bukan marsose atau serdadu, kenapa kamu injak kaki saya?!"
Ah, sepotong humor, namun betapa tajam!
Para pakar ilmu, Pak Bill Liddle, Pak Daniel Lev, Pak Faith, sudah capek-capek berbulan-bulan menulis buku tentang masalah yang sama, namun tak pernah sanggup membuat kita merasa terinjak seperti sesudah mendengar singkat angin Madura itu.
(Emha Ainun Nadjib/Folklore Madura/Progress/ PadhangmBulanNet Dok)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar