Halaman

Minggu, 10 Januari 2010

Sedang Tuhanpun Berbagi (iii)

Muslim yang berpikir (karena berpikir antara lain maka ia Muslim) tidak menggabungkan diri ke dalam suatu gairah masa depan yang memperlakukan manusia, makhluk Allah paling utama ini, hanya sebagal angka-angka yang direbut dari mesin lama ke mesin yang
baru.
Kalau tidak demikian, konsep khalifatullah fil ardl, tidaklah diperuntukkan bagi semua manusia dalam suatu persamaan di hadapan Allah melainkan diperuntukkan bagi suatu elite di atas manusia umum. Kaum Muslimin tidak bergerak untuk menjadi edisi berikut dari suatu tatanan yang mengatas namakan nasib Wong cilik, buruh, tani, untuk meletakkan mereka justru pada posisi kawula sekawula-kawulanva seperti sejarah dunia telah mencatat ironi itu dengan seksarna.

Dengan demikian, hal spiritualitas pembangunan bukan hanya soal bagaimana kita mempertanyakan kembali konteks pembangunan mental spiritual dari proses yang mapan dewasa ini. la juga menyangkut segala usaha untuk menguak setiap aspirasi perubahan atau perombakan : bahwa urusan kita lebih dari sekedar mengadili soal pembagian rejeki perut. Di dalam Islam bahkan ada garis silang nilai yang bisa saja menafikan soal isi perut. Islam memiliki pandangannya sendiri mengenai kekayaan dan kemiskinan. Islam bahkan
menjamin hak bagi seseorang untuk memilih kemiskinan, meskipun dianjurkan untuk menjauhi kefaqiran.
Islam tidak mewajibkan kekayaan seperti juga tidak mengharamkan kemiskinan. Untuk itu seorang Muslim tidak perlu terjebak untuk membenci orang kaya atau justru menyintai orang miskin. Sebab kalau soalnya adalah menyintai orang miskin, maka Anda butuh
memelihara kemiskinannya agar cinta Anda tetap terpelihara. Juga kalau soalnya adalah membenci orang kaya, maka kasusnya adalah kecemburuan terhadap kekayaannya.
Sejauh saya mengerti, yang menjadi pokok soal dalam Islam ialah bagaimana kekayaan diperoleh dan bagaimana derita kemiskinan sampai diperoleh. Yang diajarkan oleh Islam bukanlah 'kaya' atau 'miskin', melainkan sikap terhadap kekayaan dan kemiskinan.
Termasuk juga sikap terhadap kemunkaran sistem yang mengatur adil tidaknya harta a-lam ini dibagi kepada manusia.
Sikap tersebut tak lain adalah bagian dari spiritualitas. Bagian lain dari spiritualitas ialah panggraita, meraba lebih dalam terhadap ada tidaknya nasib.
Lihatlah kartu domino. Kartu-kartu sudah tertentu. Berbagai kernungkinan permainan juga bisa dipelajari. Namun persoalan pembagian kartu, kapasitas manusia hanya mengocoknya. Silahkan lakukan seratus atau seribu kocokan, tapi Anda tidak bisa menentukan apa dan bagaimana kartu Anda. Anda tidak bisa menjamin bahwa Anda akan bebas dari balak-6.
Ada faktor X, peranan lain diluar diri manusia yang dikandung oleh permainan domino.
Atau sepakbola. Silahkan bikin coaching yang canggih. Dari ketrampilan individu sampai pola permainan. Namun coba gambarlah garis larinya bola selama 90 menit. Anda sama sekali tidak akan pemah bisa merancang bagaimana gambar itu. Di saat lain Anda hanya bilang 'bola itu bundar".
Ada faktor X, peranan lain di luar diri manusia yang dikandung oleh permainan sepakbola.
Tentu saja tidak analog bahwa sistem perekonomian yang kita anut dewasa ini sama dengan kocokan domino. Namun yang penting peranan manusia itu terbatas sampai titik tertentu.(bersambun g)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalism e Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/ 1995/PadhangmBul anNetDok)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar