Halaman

Senin, 08 Juni 2009

Sejarah Pajak dan Zakat

Zakat
Selama tiga belas tahun di Mekkah, kaum muslimin didorong untuk menginfakkan harta mereka buat para fakir, miskin, dan budak, namum sebelum ditentukan nisab dan berapa kewajiban zakatnya, juga belum diketahui apakah telah diorganisasi pengumpulan dan penyalurannya. Yang jelas kaum muslim dulu memberikan sebagian besar harta mereka untuk kepentingan Islam.
Ayat-ayat dalam surah al-Hajj yang turun diawal periode Madinah menjelaskan salah satu ciri orang mukmin, yaitu menegakkan shalat dan membayar zakat. Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan pada ternak, emas, perak, pertanian, dan barang terpendam. Pada periode Madinah, baru ditentukan nisab dan jumlah kewajiban zakat, administrasi, pengumpulan, dan penyaluran.
Pada zaman Abu Bakar r.a., sebagian orang menolak membayar zakat dikarenakan adanya nabi palsu saat itu dan ada yang menunggu perkembangan setelah wafatnya Rasulullah. Pada zaman Umar r.a.., objek zakat diperluas, misalnya kuda yang tadinya tidak dikenakan zakat malah menjadi objek zakat.
Pada masa Utsman r.a., dengan kemajuan perekonomian umat saat itu, timbul masalah baru, antara lain hukum zakat atas pinjaman. Utsman berpendapat jika uang itu dapat ditagih pada waktunya berzakat, manun ia tidak melakukannya, ia harus membayar zakat dari seluruh hartanya termasuk utang yang seharusnya dapat ditagih. Pada masa Ali r.a., ternak yang dipekerjakan tidak dikenakan zakat karena dianggap kebutuhan dasar petani. Dan Ali membolehkan pembayaran zakat dengan bentuk barang serta uang.

Pajak
Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 sebelum Masehi. Pengenaan pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni


sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan. Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty”. sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah. Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar